JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang pendahuluan Perselisihan dalam Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik Pemilihan Gubernur maupun Bupati dan Walikota Tahun 2020 (PHP Kada 2020) untuk Provinsi Sumatra Barat di Ruang Sidang Panel I pada Selasa (26/1/2021).
Pasangan Nomor Urut 1 Mulyadi-Ali Mukhni yang mengajukan permohonan Nomor 129/PHP.GUB-XIX/2021 ini menyampaikan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat Tahun 2020 (Pilgub) tidak berjalan secara demokratis serta tidak berlandaskan pada asas pemilu jujur dan adil (jurdil) khususnya dalam proses penegakan hukum yang tidak adil serta dipaksakan. Dalam penyampaian pokok permohonan, Veri Junaidi selaku kuasa hukum menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pilgub khususnya “penegakan hukum” tidak menunjukkan prinsip persamaan (equality) dan terdapat upaya nyata yang dilakukan baik oleh kandidat lain maupun oleh penyelenggara pemilihan. Dalam hal ini, lanjutnya, Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (terdiri dari unsur Bawaslu, Kejaksaan dan Kepolisian) tingkat pusat, yang telah memaksakan penetapan tersangka terhadap Pemohon.
“Menjelang pemungutan suara telah dilakukan penetapan tersangka yang menurut penalaran yang wajar bertujuan untuk membangun citra buruk terhadap Pemohon. Meskipun pada akhirnya penyidikan terhadap Pemohon dihentikan dengan alasan tidak cukup alat bukti. Penetapan tersangka itu dilakukan secara singkat menjelang pemungutan suara dan masa tenang yakni 4 Desember 2020 penetapan sebagai tersangka, 9 Desember 2020 pemungutan suara, dan tanggal 11 Desember 2020 terbit penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup alat bukti. Proses ini terang benderang telah melanggar asas jurdil yakni dilakukan dengan menggunakan struktur penegak hukum, secara sistematis menggunakan proses penegakan hukum dan secara massif melibatkan pemberitaan media yang meluas,” terang Veri di hadapan Ketua Panel Hakim Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Wahiduddin Adams.
Tidak Dikenakan Sanksi
Menurut Veri, Pemohon seharusnya tidak dapat dikenakan sanksi pelanggaran kampanye di luar jadwal jika itu dilakukan berdasarkan penegakan hukum yang jujur dan adil. Akan tetapi, sambungnya, karena adanya dugaan secara terstruktur dan sistematis untuk menjadikan Pemohon sebagai tersangka, maka pemilihan tidak berjalan adil. Apalagi, ada upaya yang secara masif dilakukan untuk mempublikasikan status tersangka Pemohon melalui media secara masif setelah dilakukan proses penyidikan dua hari setelah pemungutan suara.
“Oleh karena itu, proses penetapan tersangka terkesan terburu-buru dan dipaksakan yakni 5 hari sebelum pemungutan suara dan disebarkan secara masif melalui media telah secara sempurna dibangun untuk melakukan penggembosan terhadap elektabilitas Pemohon dengan meracuni pertimbangan pemilih dimasa tenang dengan status tersangka Pemohon yang sejak awal patut diduga telah didesain mulai dari proses penetapan tersangka sampai dengan penyebaran,” ujar Veri.
Menurut Veri, penetapan Pemohon sebagai tersangka meskipun pada akhirnya dalam tahap penyidikan dinyatakan tidak cukup alat bukti. Hal ini merupakan upaya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dengan tujuan menggembosi dukungan pemilih terhadap Pemohon dengan menjadikan pemilih Pemohon tidak menggunakan hak pilihnya (right to vote) atau golput, sehingga mengalihkan pilihannya tersebut kepada pasangan calon lainnya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon memohonkan agar Mahkamah membatalkan Keputusan KPU Sumatra Barat tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatra Barat Tahun 2020 serta Memerintahkan KPU Provinsi Sumatra Barat (Termohon) untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Cacat Hukum
Pada sidang yang sama, Panel I juga memeriksa permohonan Nasrul Abit-Indra Catri yang teregistrasi Nomor 128/PHP.GUB-XIX/2021. Vino Oktavia selaku kuasa hukum menjabarkan bahwa penetapan hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat Tahun 2020 secara substansi belum dapat dianggap ada karena proses pemungutan suara sampai dengan rekapitulasi hasil perhitungan suara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat Tahun 2020 telah cacat hukum. Namun oleh karena Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nomor Urut 04 Mayeldi dan Audy Joinaldy telah melakukan pelanggaran serius terhadap peraturan perundang-undangan terkait sumbangan dana kampanye perorangan.
Menurut Pemohon, selain diduga telah melakukan pelanggaran penerimaan sumbangan dana kampanye perorangan yang telah melebihi batas yang ditentukan dan dilarang mengunakannya, serta wajib dilaporkan kepada KPU Provinsi Sumatra Barat dan diserahkan sumbangan tersebut ke kas negara, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nomor Urut 4 tersebut juga telah diduga melakukan pelanggaran memberikan keterangan yang tidak benar dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Pilihan Bupati Lima Puluh Kota
Sementara itu, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 109/PHP.BUP-XIX/2021 yang dimohonkan oleh Darman Sahladi-Maskar M. DT Pobo selaku Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor urut 2 mendalilkan adanya perbedaan suara antara pemohon dan pasangan calon nomor urut 3 Saffaruddin Dt. Bandaro Rajo-Riski Kurniawan N yang ditetapkan oleh KPU sebanyak 7.648 suara. Menurut pemohon, selisih suara tersebut dikarenakan terjadinya pelanggaran administratif dan pelanggaran TSM, sehingga secara kuantitatif sangat signifikan mempengaruhi hilangnya perolehan suara pemohon. Selain itu, M. Nurhuda selaku kuasa hukum Pemohon mendalilkan bahwa dalam proses Pilkada 2019, diduga terdapat banyak pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh Pasangan Nomor Urut 3, KPU Kabupaten Limapuluh Kota sebagai Termohon dan Bawaslu Kabupaten Lima Puluh Kota.
Kemudian Pemohon menyampaikan terjadinya praktik money politic pada penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Lima Puluh Kota yang terjadi pada Hari Tenang sampai pada saat hari pemungutan suara. Hal ini diketahui Pemohon melalui media sosial karena terdapat pengumuman gerakan seratus ribu kemenangan Safaruddin-Rizki (SAFARI). Selain itu, diungkapkan kembali di persidangan bahwa KPU Kabupaten Lima Puluh Kota (Termohon) membiarkan terjadinya praktik kecurangan yang dilakukan oleh Pasangan Nomor 3 atas nama Safaruddin dan Riski Kurniawan. Tim pemenangan Paslon tersebut menggalakkan gerakan pembagian seribu jilbab kepada kelompok pengajian ibu-ibu serta ke rumah-rumah penduduk. Kejadian tersebut dilakukan di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Payakumbuh, Kecamatan Harau, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kecamatan Suliki, Kecamatan guguak, Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Mungka, dan Kecamatan Bukit Barisan. Disamping dugaan kecurangan berupa politik uang dan pembagian barang, diduga terdapat kelalaian yang telah dilakukan oleh KPU Kabupaten Lima Puluh Kota dalam memverifikasi data Paslon Nomor 3 di mana diduga terjadi pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh Paslon Nomor 3 tersebut agar diluluskan menjadi pasangan bupati dalam Pilkada Kabupaten Lima Puluh Kota.
Dalam Petitumnya, Pemohon Kabupaten Lima Puluh Kota memohon kepada Majelis Hakim untuk menerima dan mengabulkan permohonannya dan membatalkan keputusan KPU Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor: 515/HK.03.1-Kpt/1307/KPU-Kab/XII/2020.
Sebelum menutup sidang, Anwar menyampaikan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Senin 1 Februari 2020 pukul 08.00-10.00 WIB dengan agenda mendengarkan jawaban Termohon serta keterangan Pihak Terkait dan Bawaslu untuk perkara nomor 129/PHP.GUB-XIX/2021 dan 128/PHP.GUB-XIX/2021. Sedangkan untuk perkara 109/PHP.BUP-XIX/2021 digelar pada Senin 1 Februari 2020 pukul 11.00-13.00 WIB. (*/cr6)
Sumber : jakarta.siberindo.co